Sabtu, 22 Januari 2011

BIOGRAFFI SOE HOK GIE (1942-1969)

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.



Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.


Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.



 sumber : http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html

Jumat, 07 Januari 2011

Judul Film : GIE
Sutradara : Riri Riza
Produksi : Miles Production
Tempat   : jakarta
Waktu     : sekitar tahun 1960

MAKNA DAN ARTI DARI FILM INI MENURUT SAYA:

GIE, film yang dikemas dengan alur dan setting yang baik ini membuat saya terdiam dan terpaku. Saya tak pernah melihat sebelumnya film Indonesia yang bisa seperti ini. Memukau dan tajam.
Film garapan sutradara Riri Riza ini menceritakan seorang Soe Hok Gie, pemuda keturunan Tionghoa yang hidup pada era orde lama. Dengan berlatar belakang kehidupan sosial politik pada masa itu. Saya terpukau dengan adanya setting tahun 1960-an yang ditampilkan pada film ini. Setting yang nyaris sempurna menurut pendapat saya, sesuai dengan apa yang saya pikirkan tentang Indonesia pada masa itu.
Adegan awal menceritakan seorang Gie yang berada pada usia remaja, SMP ketika gejolak ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan orde lama sedang berkecamuk. Gie yang tinggal bersama keluarganya, memiliki sahabat karib, serta teman-teman seperjuangannya juga tak lupa untuk diangkat dalam film ini.
Tak lupa untuk memberitahukan setting pada waktu itu, sutradara juga menampilkan teks yang memberitahukan pada penonton kondisi pada waktu itu. Itu akan membantu penonton untuk lebih mencerna dan memahami film tersebut.
Sosok Gie digambarkan sebagai seseorang yang berani berkata yang benar dan memiliki kemampuan bahasa ataupun pemikiran yang jauh dari pemuda-pemuda yang lain. Gie adalah sosok pemuda yang berani mengambil sikap untuk indonesia yang lebih baik.
Alur maju digunakan dalam film ini. Itu semua terlihat dari perubahan Gie dari usia remaja ke dewasa dengan perubahan sosok Gie dari masa SMP, SMA serta Perguruan Tinggi.
Pemikiran-pemikiran Gie yang tajam dan menusuk pada waktu itu menjadi sesuatu yang hangat sebagai hidangan pelengkap kisah Orde Lama. Sikap kritis terhadap pemerintahan soekarno itu selalu ia sampaikan baik secara langsung maupun melalui tulisan-tulisannya.
Bukan hanya menceritakan kehidupan pribadi Soe Hok Gie. Tapi, film ini benar-benar mengangkat sejarah yang pernah ada di Indonesia. Soe Hok Gie yang berjuang bukan hanya untuk dirinya ataupun warga keturunannya, Tionghoa. Tapi juga berjuang untuk keadilan seluruh rakyat Indonesia karena ia warga Indonesia yang tidak mau melihat rakyat Indonesia hidup tertindas dan menginginkan pemerintahan Indonesia yang bersih.
Kecintaan Soe Hok Gie terhadap alam juga ikut ditampilkan dalam film ini melalui kegiatan naik gunung serta keindahan alam ketika berada di pantai.
Dalam film ini lebih banyak digunakan medium close up. Tapi tak sedikit point of view yang juga ditampilkan ketika Soe Hok Gie membaca buku. Close up lebih jarang ditampilkan.
Melalui film ini pula saya semakin sadar bahwa kita tak perlu takut berkata tidak pada hal yang memang salah. Kemana arah tujuan Indonesia, “kita“ rakyat Indonesia yang menentukan dan seharusnya banyak film seperti ini dibuat di indonesia agar para remaja sadar bagaiman sulitnya merasakan kemerdekaan yang utuh pada masa lalu agar mereka juga lebih menghargai jasa - jasa pahlawan. :D

TUGAS

1. SOAL   :        apa bentuk penderitaan yang pernah dialami?
    JAWAB:        salah satu penderitaan yang saya pernah alami dan tidak ingin lagi rasa nya hal seperti itu  
                          terulang kembali  adalah saat ibu saya jatuh sakit. ketika itu beliau lemah tak berdaya menahan 
                          sesak di dada karena penyakit asma tyang di derita. ketika itu saya sangat takut akan 
                          kehilangan sosok ibu untuk selamanya.

2 SOAL    :        bagaimana bentuk keadilan dan ketidak adilan di sekitar kita? dan penyelesaiannya?
   JAWAB :        bentuk keadilan : contoh bentuk keadilan di sekitar kehidupan saya berasal dari keluarga saya
                          sendiri, saya merasa aturan yang di buat oleh orang tua untuk anak - anak nya sudah cukup adil
                          mereka memberi tanggung jawab kepada saya dan adik saya untuk menjadi diri sendiri dengan
                          monitor dari orang tua.
                          bentuk ketidak adilan : contoh bentuk ketidak adilan di indonesia menurut saya sudah tidak
                          lazim lagi dan secepatnya harus di tuntaskan. karna hal seperti ini bisa menimbulkan perpecahan
                         di negara. contoh nya kasus artalita yang memiliki ruang penjara yang mewah bin nikmat, kasus
                         gayus yang entah bagaimana akhirnya, sekarang kita bandingkan dengan kasus seorang nenek
                       yang mencuri 3 buah coklat yang harus di penjera. hal ini sudah membuktikan bagaiman buruknya           
                        hukum di  indonesia.
                        cara mangatasi keadilan: menurut saya cara mengatasi ketidak adilan yang paling ampuh
                       adalah dengan memperbaiki diri kita masing. dan berusaha untuk berbuat benar.